SENJA CELAKA
Aditya Winantaka
Palang perlintasan
ditutup, kendaraan yang akan lewat pun berhenti, mengurungkan perjalanannya
agar tidak terlindas si empunya lintasan. Kemudian tidak berapa lama, kereta
terlihat melaju cepat dan menderu. Aku menggambarkannya seperti laju kuda yang
sedang mengamuk. Tidak peduli
sekitarnya, melesat cepat melewatiku
yang sedang berdiri termangu di bawah Jembatan Lempuyangan.
Aku berdiri di tempat
ini sekitar empat puluh lima menit lebih sepuluh detik yang lalu. Di dekatku
ada anak muda mudi duduk berjajar di dekat pagar sambil bercengkerama. Di
sebelahnya terlihat seorang Ibu menyuapi anaknya sambil mengarahkan pandangan
anaknya ke kereta yang baru saja lewat. Sedangkan orang-orang yang lain sibuk
menikmati jajanan yang melimpah di tempat ini. Sebenarnya tempat ini bukanlah
tempat yang istimewa. Tidak ada bianglala, rumah hantu, tong setan, kereta
mini, dan permainan lainnya. Hanya segunduk lahan beralaskan ‘konblok’ di tepi
jalan bawah Jembatan Lempuyangan yang di sampingnya terdapat rel kereta api. Tapi anehnya, tempat ini selalu ramai pada
sore hari. Ramai dengan kesibukan masing-masing. Entah apa tujuan mereka semua
datang ke sini, wisata gratis menonton kereta, mungkin. Sedangkan aku, tujuanku hanya satu,
melepas semua beban yang ada pada diriku.
*****
“Kamu edan! Bagaimana
ini bisa terjadi! Bagaimana nanti kita bisa membayar gaji semua karyawan kalau
kamu bertingkah bodoh seperti ini!”
Aku hanya terdiam mendengarkan umpatan dan makian dari
orang tua yang biasa aku sebut Pak
Direktur. Sekitar sejam lebih Pak Direktur menyebutkan nama-nama hewan dari
kebun binatang di depanku. Aku paham dia senang dengan hewan, tapi aku tidak
menduga dia sangat hapal sampai ke sifat-sifat hewan pun dia sebutkan secara
rinci.
Setelah melewati
bantingan buku dan gebrakan meja, aku disuruh pergi keluar dari ruangan itu dan
tidak boleh menginjakkan kaki di tempat itu selamanya. Tak lupa juga mantan
direkturku tersebut memberi ancaman kepadaku akan dilaporkan ke polisi apabila semua masalah ini
tidak segera selesai. Dengan lemas dan terdiam aku pun keluar dari ruangan mantan
direkturku menuju ruangan sebelahnya, ruanganku yang sebentar lagi bisa
disebut sebagai bekas ruanganku. Setelah merapikan meja kerja dan mengambil
barang-barang, aku berjalan keluar dari ruangan sambil melihat isi pesan di
telepon genggamku, istriku titip beli susu untuk anak bayiku, segera. Aku pun
bergegas pergi. Aku lebih takut istriku daripada murka mantan direkturku
barusan.
Semenjak mobilku
ditarik perusahaan leasing, aku kemana-mana jalan kaki atau naik bus atau mungkin ojek. Tapi, setelah
melihat isi dompetku yang hanya cukup untuk beli susu, hari ini aku memutuskan berjalan kaki. Baru beberapa
meter dari bekas kantorku, telepon genggamku berdering.
“Selamat siang Pak
Bawono.” Begitu suara yang ada di ujung telepon ketika aku mengangkatnya.
“Iya, selamat siang,
Pak.”
“Mohon maaf pak,
sekedar mengingatkan tagihan angsuran kredit Bapak sudah melewati jatuh tempo.
Hari ini bisa kan pak dibayar?”
“I-iya pak sedang saya
usahakan.”
Kepalaku pening. Seratus
juta lima ratus lima puluh ribu rupiah.
*****
Dan di sinilah sekarang
aku berada, tidak tahu mau kemana lagi, di bawah Jembatan Lempuyangan. Sendirian. Aku belum bisa membayar hutang. Belum bisa mengganti uang perusahaan. Bahkan susu pun belum terbeli. Belum 'tetek bengek' lainnya.
Tak terasa sudah satu jam tiga puluh
lima menit lebih sepuluh detik aku berdiri termangu tidak berubah di sini. Hari
mulai gelap, orang-orang yang tadi ramai sudah banyak yang pergi. Tempat yang
tadinya jadi wisata dadakan mulai rada sepi. Tapi aku masih belum menemukan
solusi dari rentetan kejadian yang menimpaku. Telepon genggam aku matikan
sedari tadi. Aku tidak tahan dengan jeritan telepon dari istriku, rentenir,
debt collect, dan nomor-nomor tidak dikenal yang terus merongrong hidupku.
Andai perusahaan tidak di ambang kebangkrutan, andai aku tidak menggelontorkan semua uang pribadi dan perusahaan buat investasi menggiurkan tapi bodong itu.
Lepas dari semua itu, sebenarnya niatku baik hanya ingin membantu perusahaan lepas dari kesulitan, menurutku. Kenyataannya sekarang, aku malah ditendang.
Ah andai penyesalan
tidak datang belakangan.
Bagaimana caranya
mengatasi ini semua. Bagaimana aku bisa lepas dari jeratan masalah-masalah yang
datang.
Tiba-tiba terlihat
cahaya lampu kereta datang dibarengi dengan terdengar suara ‘klaksonnya’. Pintu perlintasan kembali
ditutup. Kendaraan yang mau lewat pun berhenti. Sudah kesekian kali peristiwa
seperti itu berulang. Tapi entah kenapa, kali ini aku ingin menyambut cahaya
itu. Cahaya terang menyilaukan yang aku yakin saat itu menjadi satu-satunya
cara mengatasi masalah ini semua. Aku melompati pagar pembatas dan berlari
menyambut kedatangan cahaya itu. Aku tersenyum menyambutnya. Di luar sana
terdengar pekikan dan jeritan
orang-orang yang melihat tingkahku. Di detik ini, ketika aku mendengar teriakan mereka, membuatku merasakan kembali yang namanya kepedulian.
Tapi sudah terlambat.
Aku bebas.
'Klakson' kereta kalau didengar dari dekat, suaranya sungguh keras ya.
*****
Aku membuka mata.
Semuanya putih. Kemudian terdengar suara tak berwujud.
“Anakku, tibalah
waktumu. Aku akan menimbang amal perbuatanmu selama di dunia untuk kamu pertanggung jawabkan sekarang.”
Aku tertegun.
Sial, aku lupa aku
masih banyak dosa.
*****