Minggu, 14 September 2014

Jam Lima Pagi

JAM LIMA PAGI

jika ayam jago sudah bersuara
hilanglah kegelapan
jika langit bergelora
keringlah air mata
walau sampai lupa cara tertawa
kamu jangan tenggelam
bisikan embun bilang 
kamu harus bangkit
karena pagi akan berganti siang
2014

Kamis, 11 September 2014

Senja Celaka




SENJA CELAKA
Aditya Winantaka

Palang perlintasan ditutup, kendaraan yang akan lewat pun berhenti, mengurungkan perjalanannya agar tidak terlindas si empunya lintasan. Kemudian tidak berapa lama, kereta terlihat melaju cepat dan menderu. Aku menggambarkannya seperti laju kuda yang sedang mengamuk. Tidak peduli sekitarnya, melesat cepat melewatiku yang sedang berdiri termangu di bawah Jembatan Lempuyangan. 

Aku berdiri di tempat ini sekitar empat puluh lima menit lebih sepuluh detik yang lalu. Di dekatku ada anak muda mudi duduk berjajar di dekat pagar sambil bercengkerama. Di sebelahnya terlihat seorang Ibu menyuapi anaknya sambil mengarahkan pandangan anaknya ke kereta yang baru saja lewat. Sedangkan orang-orang yang lain sibuk menikmati jajanan yang melimpah di tempat ini. Sebenarnya tempat ini bukanlah tempat yang istimewa. Tidak ada bianglala, rumah hantu, tong setan, kereta mini, dan permainan lainnya. Hanya segunduk lahan beralaskan ‘konblok’ di tepi jalan bawah Jembatan Lempuyangan yang di sampingnya terdapat rel kereta api. Tapi anehnya, tempat ini selalu ramai pada sore hari. Ramai dengan kesibukan masing-masing. Entah apa tujuan mereka semua datang ke sini, wisata gratis menonton kereta, mungkin. Sedangkan aku, tujuanku hanya satu, melepas semua beban yang ada pada diriku. 

*****

“Kamu edan! Bagaimana ini bisa terjadi! Bagaimana nanti kita bisa membayar gaji semua karyawan kalau kamu bertingkah bodoh seperti ini!”

Aku hanya  terdiam mendengarkan umpatan dan makian dari orang  tua yang biasa aku sebut Pak Direktur. Sekitar sejam lebih Pak Direktur menyebutkan nama-nama hewan dari kebun binatang di depanku. Aku paham dia senang dengan hewan, tapi aku tidak menduga dia sangat hapal sampai ke sifat-sifat hewan pun dia sebutkan secara rinci.

Setelah melewati bantingan buku dan gebrakan meja, aku disuruh pergi keluar dari ruangan itu dan tidak boleh menginjakkan kaki di tempat itu selamanya. Tak lupa juga mantan direkturku tersebut memberi ancaman kepadaku akan dilaporkan ke polisi apabila semua masalah ini tidak segera selesai. Dengan lemas dan terdiam aku pun keluar dari ruangan mantan direkturku menuju ruangan sebelahnya, ruanganku yang sebentar lagi bisa disebut sebagai bekas ruanganku. Setelah merapikan meja kerja dan mengambil barang-barang, aku berjalan keluar dari ruangan sambil melihat isi pesan di telepon genggamku, istriku titip beli susu untuk anak bayiku, segera. Aku pun bergegas pergi. Aku lebih takut istriku daripada murka mantan direkturku barusan.

Semenjak mobilku ditarik perusahaan leasing, aku kemana-mana jalan kaki atau naik bus atau mungkin ojek. Tapi, setelah melihat isi dompetku yang hanya cukup untuk beli susu, hari ini aku memutuskan berjalan kaki. Baru beberapa meter dari bekas kantorku, telepon genggamku berdering.

“Selamat siang Pak Bawono.” Begitu suara yang ada di ujung telepon ketika aku mengangkatnya.

Iya, selamat siang, Pak.

“Mohon maaf pak, sekedar mengingatkan tagihan angsuran kredit Bapak sudah melewati jatuh tempo. Hari ini bisa kan pak dibayar?”

I-iya pak sedang saya usahakan.

Kepalaku pening. Seratus juta lima ratus lima puluh ribu rupiah.

***** 

Dan di sinilah sekarang aku berada, tidak tahu mau kemana lagi, di bawah Jembatan Lempuyangan. Sendirian. Aku belum bisa membayar hutang. Belum bisa mengganti uang perusahaan. Bahkan susu pun belum terbeli. Belum 'tetek bengek' lainnya. 

Tak terasa sudah satu jam tiga puluh lima menit lebih sepuluh detik aku berdiri termangu tidak berubah di sini. Hari mulai gelap, orang-orang yang tadi ramai sudah banyak yang pergi. Tempat yang tadinya jadi wisata dadakan mulai rada sepi. Tapi aku masih belum menemukan solusi dari rentetan kejadian yang menimpaku. Telepon genggam aku matikan sedari tadi. Aku tidak tahan dengan jeritan telepon dari istriku, rentenir, debt collect, dan nomor-nomor tidak dikenal yang terus merongrong hidupku. 

Andai perusahaan tidak di ambang kebangkrutan, andai aku tidak menggelontorkan semua uang pribadi dan perusahaan buat investasi menggiurkan tapi bodong itu.

Lepas dari semua itu, sebenarnya niatku baik hanya ingin membantu perusahaan lepas dari kesulitan, menurutku. Kenyataannya sekarang, aku malah ditendang. 
Ah andai penyesalan tidak datang belakangan.

Bagaimana caranya mengatasi ini semua. Bagaimana aku bisa lepas dari jeratan masalah-masalah yang datang.

Tiba-tiba terlihat cahaya lampu kereta datang dibarengi dengan terdengar suara ‘klaksonnya’. Pintu perlintasan kembali ditutup. Kendaraan yang mau lewat pun berhenti. Sudah kesekian kali peristiwa seperti itu berulang. Tapi entah kenapa, kali ini aku ingin menyambut cahaya itu. Cahaya terang menyilaukan yang aku yakin saat itu menjadi satu-satunya cara mengatasi masalah ini semua. Aku melompati pagar pembatas dan berlari menyambut kedatangan cahaya itu. Aku tersenyum menyambutnya. Di luar sana terdengar  pekikan dan jeritan orang-orang yang melihat tingkahku. Di detik ini, ketika aku mendengar teriakan mereka, membuatku merasakan kembali yang namanya kepedulian. 
Tapi sudah terlambat.

Aku bebas.
 
 'Klakson' kereta kalau didengar dari dekat, suaranya sungguh keras ya. 


*****

Aku membuka mata. Semuanya putih. Kemudian terdengar suara tak berwujud.

“Anakku, tibalah waktumu. Aku akan menimbang amal perbuatanmu selama di dunia untuk kamu pertanggung jawabkan sekarang.”

Aku tertegun.

Sial, aku lupa aku masih banyak dosa.

*****

Selasa, 02 September 2014

Di Sawah

DI SAWAH
Aditya Winantaka

Siang ini, aku memandang sepetak tanah di depanku.
Petak yang selama ini menjadi tempat aku berdiri. Di sanalah tanah nan subur berada. Ketika aku melempar kayu, tumbuhlah tanaman di sana.

Tapi hari ini juga aku harus menjualnya kepada bapak botak berdasi berperut buncit yang tersenyum licik di belakangku. Aku terpaksa. Hutangku semakin menumpuk. Semuanya mahal sekarang.

Aku yang menghasilkan bahan makanan tapi aku tak mampu makan tiga kali sehari.

Untuk saat terakhir, aku menatap lagi tanah di depanku. Tanah yang di semua sisinya telah bertetangga dengan bangunan sangat tinggi. Saking tingginya, sampai aku tidak bisa melihat atapnya.

Maafkan aku Tuhan karena aku telah menjual tanah terakhir di muka bumi ini.
Maafkan aku Bapak Ibu yang telah mewariskan tanah ini padaku .
Maafkan aku cucu-cucuku, karena ketika kalian tumbuh nanti tidak akan mengenal yang namanya sawah.

Sekarang, tidak ada lagi yang namanya Pak Tani.