Selasa, 02 September 2014

Di Sawah

DI SAWAH
Aditya Winantaka

Siang ini, aku memandang sepetak tanah di depanku.
Petak yang selama ini menjadi tempat aku berdiri. Di sanalah tanah nan subur berada. Ketika aku melempar kayu, tumbuhlah tanaman di sana.

Tapi hari ini juga aku harus menjualnya kepada bapak botak berdasi berperut buncit yang tersenyum licik di belakangku. Aku terpaksa. Hutangku semakin menumpuk. Semuanya mahal sekarang.

Aku yang menghasilkan bahan makanan tapi aku tak mampu makan tiga kali sehari.

Untuk saat terakhir, aku menatap lagi tanah di depanku. Tanah yang di semua sisinya telah bertetangga dengan bangunan sangat tinggi. Saking tingginya, sampai aku tidak bisa melihat atapnya.

Maafkan aku Tuhan karena aku telah menjual tanah terakhir di muka bumi ini.
Maafkan aku Bapak Ibu yang telah mewariskan tanah ini padaku .
Maafkan aku cucu-cucuku, karena ketika kalian tumbuh nanti tidak akan mengenal yang namanya sawah.

Sekarang, tidak ada lagi yang namanya Pak Tani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar