Rabu, 15 Oktober 2014

PUTARLAH RODA ITU AGAR BERUBAH

PUTARLAH RODA ITU AGAR BERUBAH

kepada jiwa yang  menangis karena sedih
kepada jiwa yang menyendiri karena sepi
kepada jiwa yang bingung karena bosan
kepada jiwa yang memendam amarah karena dilecehkan

aku mengajakmu

putarlah roda itu agar berubah
jika kamu memang ingin berubah

jangan dendam
aku itu aku
kamu itu kamu
mereka itu mereka
tidak berubah

apa enaknya selalu dalam gelap malam
tidak jenuh?
lebih baik putarlah roda itu
dan bertemu pagi

jangan peduli
aku itu aku
kamu itu kamu
mereka itu mereka
karena pagimu sudah lama menunggu untuk bertemu kamu
                                                                         
                                                                                2014

Selasa, 14 Oktober 2014

ADA IKAN MELOMPAT DARI AIR

ADA IKAN MELOMPAT DARI AIR



menggelepar
berusaha berjalan
tapi tidak bisa
hanya meloncat sekenanya
berusaha berenang di tanah
tapi tanah bukan air
dia tidak bisa apa-apa
mulutnya meracau

lalu dia berteriak

"aku hanya ingin bebas - bisa hidup di air, darat dan udara, salah?"

"kenapa aku harus jadi ikan?"

dan

"kenapa harus ada batasan, bila semuanya akan indah kalau sempurna?"

tak ada jawaban
semakin hening
lalu tak ada suara
diam
mati

2014

BODOH

BODOH

sementara itu,
aku tertegun di sudut tempat yang ramai
terpojok
orang-orang terlihat tertawa dan bercakap-cakap
tapi aku tidak bisa mendengarnya

sadar ini semua hanya fana
aku tertawa bersama bayang-bayangku
dia pun ikut tertawa
kami menertawakan dunia

memang tampak bodoh
karena
dunialah yang membodohiku
atau
hanya aku yang bodoh untuk mengerti
                                   
                                                2014

Senin, 13 Oktober 2014

JARAK

JARAK

kepada jarak
apa kamu dendam kepadaku
dosa apa aku
kamu utus hujan dan angin
kemudian laut dan segunduk tanah

ah, jangan buat masalah lagi
kita berdamai
aku akan berbaik hati padamu
lagi

2014

MALAM

MALAM

pergilah kau bulan
enyahlah kau bintang
diamlah kau jangkrik
biarkan malam datang dengan gelapnya
biarkan aku meringkuk dalam peluknya
aku hanya ingin tidur dengan tenang malam ini

                                                         2014

Minggu, 14 September 2014

Jam Lima Pagi

JAM LIMA PAGI

jika ayam jago sudah bersuara
hilanglah kegelapan
jika langit bergelora
keringlah air mata
walau sampai lupa cara tertawa
kamu jangan tenggelam
bisikan embun bilang 
kamu harus bangkit
karena pagi akan berganti siang
2014

Kamis, 11 September 2014

Senja Celaka




SENJA CELAKA
Aditya Winantaka

Palang perlintasan ditutup, kendaraan yang akan lewat pun berhenti, mengurungkan perjalanannya agar tidak terlindas si empunya lintasan. Kemudian tidak berapa lama, kereta terlihat melaju cepat dan menderu. Aku menggambarkannya seperti laju kuda yang sedang mengamuk. Tidak peduli sekitarnya, melesat cepat melewatiku yang sedang berdiri termangu di bawah Jembatan Lempuyangan. 

Aku berdiri di tempat ini sekitar empat puluh lima menit lebih sepuluh detik yang lalu. Di dekatku ada anak muda mudi duduk berjajar di dekat pagar sambil bercengkerama. Di sebelahnya terlihat seorang Ibu menyuapi anaknya sambil mengarahkan pandangan anaknya ke kereta yang baru saja lewat. Sedangkan orang-orang yang lain sibuk menikmati jajanan yang melimpah di tempat ini. Sebenarnya tempat ini bukanlah tempat yang istimewa. Tidak ada bianglala, rumah hantu, tong setan, kereta mini, dan permainan lainnya. Hanya segunduk lahan beralaskan ‘konblok’ di tepi jalan bawah Jembatan Lempuyangan yang di sampingnya terdapat rel kereta api. Tapi anehnya, tempat ini selalu ramai pada sore hari. Ramai dengan kesibukan masing-masing. Entah apa tujuan mereka semua datang ke sini, wisata gratis menonton kereta, mungkin. Sedangkan aku, tujuanku hanya satu, melepas semua beban yang ada pada diriku. 

*****

“Kamu edan! Bagaimana ini bisa terjadi! Bagaimana nanti kita bisa membayar gaji semua karyawan kalau kamu bertingkah bodoh seperti ini!”

Aku hanya  terdiam mendengarkan umpatan dan makian dari orang  tua yang biasa aku sebut Pak Direktur. Sekitar sejam lebih Pak Direktur menyebutkan nama-nama hewan dari kebun binatang di depanku. Aku paham dia senang dengan hewan, tapi aku tidak menduga dia sangat hapal sampai ke sifat-sifat hewan pun dia sebutkan secara rinci.

Setelah melewati bantingan buku dan gebrakan meja, aku disuruh pergi keluar dari ruangan itu dan tidak boleh menginjakkan kaki di tempat itu selamanya. Tak lupa juga mantan direkturku tersebut memberi ancaman kepadaku akan dilaporkan ke polisi apabila semua masalah ini tidak segera selesai. Dengan lemas dan terdiam aku pun keluar dari ruangan mantan direkturku menuju ruangan sebelahnya, ruanganku yang sebentar lagi bisa disebut sebagai bekas ruanganku. Setelah merapikan meja kerja dan mengambil barang-barang, aku berjalan keluar dari ruangan sambil melihat isi pesan di telepon genggamku, istriku titip beli susu untuk anak bayiku, segera. Aku pun bergegas pergi. Aku lebih takut istriku daripada murka mantan direkturku barusan.

Semenjak mobilku ditarik perusahaan leasing, aku kemana-mana jalan kaki atau naik bus atau mungkin ojek. Tapi, setelah melihat isi dompetku yang hanya cukup untuk beli susu, hari ini aku memutuskan berjalan kaki. Baru beberapa meter dari bekas kantorku, telepon genggamku berdering.

“Selamat siang Pak Bawono.” Begitu suara yang ada di ujung telepon ketika aku mengangkatnya.

Iya, selamat siang, Pak.

“Mohon maaf pak, sekedar mengingatkan tagihan angsuran kredit Bapak sudah melewati jatuh tempo. Hari ini bisa kan pak dibayar?”

I-iya pak sedang saya usahakan.

Kepalaku pening. Seratus juta lima ratus lima puluh ribu rupiah.

***** 

Dan di sinilah sekarang aku berada, tidak tahu mau kemana lagi, di bawah Jembatan Lempuyangan. Sendirian. Aku belum bisa membayar hutang. Belum bisa mengganti uang perusahaan. Bahkan susu pun belum terbeli. Belum 'tetek bengek' lainnya. 

Tak terasa sudah satu jam tiga puluh lima menit lebih sepuluh detik aku berdiri termangu tidak berubah di sini. Hari mulai gelap, orang-orang yang tadi ramai sudah banyak yang pergi. Tempat yang tadinya jadi wisata dadakan mulai rada sepi. Tapi aku masih belum menemukan solusi dari rentetan kejadian yang menimpaku. Telepon genggam aku matikan sedari tadi. Aku tidak tahan dengan jeritan telepon dari istriku, rentenir, debt collect, dan nomor-nomor tidak dikenal yang terus merongrong hidupku. 

Andai perusahaan tidak di ambang kebangkrutan, andai aku tidak menggelontorkan semua uang pribadi dan perusahaan buat investasi menggiurkan tapi bodong itu.

Lepas dari semua itu, sebenarnya niatku baik hanya ingin membantu perusahaan lepas dari kesulitan, menurutku. Kenyataannya sekarang, aku malah ditendang. 
Ah andai penyesalan tidak datang belakangan.

Bagaimana caranya mengatasi ini semua. Bagaimana aku bisa lepas dari jeratan masalah-masalah yang datang.

Tiba-tiba terlihat cahaya lampu kereta datang dibarengi dengan terdengar suara ‘klaksonnya’. Pintu perlintasan kembali ditutup. Kendaraan yang mau lewat pun berhenti. Sudah kesekian kali peristiwa seperti itu berulang. Tapi entah kenapa, kali ini aku ingin menyambut cahaya itu. Cahaya terang menyilaukan yang aku yakin saat itu menjadi satu-satunya cara mengatasi masalah ini semua. Aku melompati pagar pembatas dan berlari menyambut kedatangan cahaya itu. Aku tersenyum menyambutnya. Di luar sana terdengar  pekikan dan jeritan orang-orang yang melihat tingkahku. Di detik ini, ketika aku mendengar teriakan mereka, membuatku merasakan kembali yang namanya kepedulian. 
Tapi sudah terlambat.

Aku bebas.
 
 'Klakson' kereta kalau didengar dari dekat, suaranya sungguh keras ya. 


*****

Aku membuka mata. Semuanya putih. Kemudian terdengar suara tak berwujud.

“Anakku, tibalah waktumu. Aku akan menimbang amal perbuatanmu selama di dunia untuk kamu pertanggung jawabkan sekarang.”

Aku tertegun.

Sial, aku lupa aku masih banyak dosa.

*****

Selasa, 02 September 2014

Di Sawah

DI SAWAH
Aditya Winantaka

Siang ini, aku memandang sepetak tanah di depanku.
Petak yang selama ini menjadi tempat aku berdiri. Di sanalah tanah nan subur berada. Ketika aku melempar kayu, tumbuhlah tanaman di sana.

Tapi hari ini juga aku harus menjualnya kepada bapak botak berdasi berperut buncit yang tersenyum licik di belakangku. Aku terpaksa. Hutangku semakin menumpuk. Semuanya mahal sekarang.

Aku yang menghasilkan bahan makanan tapi aku tak mampu makan tiga kali sehari.

Untuk saat terakhir, aku menatap lagi tanah di depanku. Tanah yang di semua sisinya telah bertetangga dengan bangunan sangat tinggi. Saking tingginya, sampai aku tidak bisa melihat atapnya.

Maafkan aku Tuhan karena aku telah menjual tanah terakhir di muka bumi ini.
Maafkan aku Bapak Ibu yang telah mewariskan tanah ini padaku .
Maafkan aku cucu-cucuku, karena ketika kalian tumbuh nanti tidak akan mengenal yang namanya sawah.

Sekarang, tidak ada lagi yang namanya Pak Tani.

Rabu, 20 Agustus 2014

Rokok

ROKOK
Aditya Winantaka


Kamu itu menarik. Tubuhmu tidak semok atau montok. Lurus, ramping tapi padat. Ada rasa gurih atau manis saat dihisap tergantung siapa itu kamu. Saat aku menghisapmu, aku seolah-olah  memperoleh kekuatan baru dan saat aku menghembuskan asap yang kamu timbulkan, seperti semua masalah kemudian ikut keluar bebarengan .

Banyak yang bilang kamu berbahaya. Katanya, kamu mengakibatkan penyakit di paru-paru, gangguan janin, gangguan pernafasan dan lain sebagainya. 

Tapi bagiku, kamu itu Setia. Saat aku suka maupun duka, kamu adalah teman sejati yang selalu ada bagiku.  Lalu kemana adanya orang-orang yang mengatai kamu itu bahaya saat aku sedang butuh mereka? Enggak ada.

Ah, tapi bagaimana jika perkataan mereka benar kalau kamu sebenarnya adalah sumber penyakit?

Kalau aku meninggalkanmu lalu kepada siapa aku harus berbagi?

Selasa, 19 Agustus 2014

Di Taman Bunga

DI TAMAN BUNGA
Aditya Winantaka


Tadi pagi aku hampir terbunuh. Ketika aku sedang berjalan, seorang anak kecil yang membawa bunga melihatku kemudian berlari dan berteriak ketakutan. Tak berapa lama seorang bapak yang berbadan tegap datang sambil membawa kayu bersama anak itu. Beberapa kali kayu itu dipukulkan ke arahku. Tapi Tuhan masih baik padaku. Tidak secuilpun tubuhku hilang atau terluka. Dia pukul sekali, kayu yang yang dipukulkan malah mengenai ranting pohon yang berada di atasku. Masih belum puas dia pukul kembali, tapi aku berhasil menyelinap masuk ke semak-semak sebelum kayu itu mengenai tubuhku.
Kemarin, wanita cantik yang sedang menikmati keindahan bunga tidak sengaja melihatku. Aku tersenyum kepadanya. Tapi apa yang dia lakukan kemudian di luar perkiraanku. Dia menjerit dan mengibaskan buku yang dia bawa ke arahku. Mengusirku, sepertinya.
Dua hari yang lalu, ketika aku sedang menyeberang. Segerombolan anak muda mudi berlari dan hampir melindasku dengan tanpa peduli. Beruntung, Tuhan lagi-lagi masih baik padaku. Aku masih selamat dari ketidak pedulian mereka.
Aku sedih tidak ada yang peduli kepadaku. Aku marah karena mereka semua berkata jijik padaku. Aku kecewa karena ketika aku di posisi sekarang mereka malah mengusir dan meninggalkanku. Aku menangis dan kemudian bersembunyi di balik daun, menghindari mereka. Dalam kesendirianku, Tuhan yang baik menghembuskan angin kepadaku. Seluruh tubuhku kaku dan terbungkus oleh hembusan-Nya. Dan akupun tertidur.

*****

Entah hari apa sekarang.
Aku terbangun dari tidur panjangku. Sinar matahari pagi ini begitu menyilaukan. Dia menyambutku sambil tersenyum.
"Hai, Selamat Pagi."
Entah kenapa aku merasa hari ini  begitu bersemangat. Aku merasa diriku berbeda dari aku yang dulu. Akupun melangkah keluar dari peraduanku dan kemudian mengelilingi taman bunga yang telah lama aku tak bermain di sana. 
Di bawahku ada seorang anak dan seorang Bapak yang dulu mau membunuhku. Mereka tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Aku pun membalas senyuman mereka lalu pergi. Di tempat lain aku bertemu wanita cantik yang membawa buku, dia tersenyum kepadaku dan terlihat begitu kagum melihatku. Untuk membalas kekagumannya, aku pun terbang meliuk-liuk menggoda di dekat dia. Dia tertawa. Aku tertawa. Tak lama kemudian segerombolan anak muda mudi melihatku juga, mereka pun bergabung dan kami berpesta. Bahagia sekali hari itu.
Tuhan memang baik. Tadinya aku ulat berbulu yang buruk rupa kemudian diajarkan sabar dalam bentuk kepompong dan sekarang aku adalah kupu-kupu yang rupawan. Yang tidak mungkin orang akan tidak peduli kepadaku, berkata jijik atau berniat membunuhku.

*****

Senin, 18 Agustus 2014

Di Bawah Jembatan Lempuyangan

DI BAWAH JEMBATAN LEMPUYANGAN
Aditya Winantaka

Sore itu, di bawah Jembatan Lempuyangan.

Aku duduk di atas jok motor. Di depanku ada beberapa lajur rel, yang arahnya bisa menuju ke Barat atau ke Timur. Di sebelahku, sepasang kekasih bercanda sambil makan cemilan. Di sebelahku yang lain, seorang Ibu membujuk anaknya untuk memakan sesuap nasi di dalam sendok yang dia pegang. Di sebelahku yang lain lagi, segerombolan anak SMA sedang mengobrol seru membahas pertandingan sepak bola tadi malam. Membuat suasana di situ menjadi ramai.

Aku tidak mau kalah. Aku bercerita kegiatanku hari ini. Aku bercerita juga tentang Biyan dan Danen, keponakanku yang lucu. Aku bercerita bahwa ladang jerawatku sukses berbuah. Aku bercerita kejadian tadi malam karena aku lupa mematikan keran kamar mandi, air membludak dan aku dimarahin Bapak. Aku bercerita tentang acara TV tadi malam sambil tertawa. Lucu, kemudian semuanya menjadi hangat dan indah. Aku lega aku bisa berbagi kisah. Sejam dua jam aku asyik mengobrol.  Aku kemudian ingin tahu kepada siapa sedaritadi aku berbagi. Aku melihat ke belakang lewat spion motorku, tidak ada siapa-siapa di spion motorku. Ternyata aku baru sadar aku hanya sendirian di situ. Iya sendiri.

*****

Di Dalam Gerbong Kereta


DI DALAM GERBONG KERETA
Aditya Winantaka

Laki-laki itu berjalan dengan tergesa-gesa. Dengan membawa tas punggung dan satu tas jinjing dia setengah berlari melewati kerumunan orang dengan tergesa-gesa. Dia tidak mempedulikan orang-orang di dekatnya yang menatap dia dengan anehnya. Tujuannya hanya satu, tidak ketinggalan kereta sore itu.

Setelah sampai di peron, dia menghampiri petugas di stasiun.

“Pak, kereta api Senja Utama Jogja untuk tujuan Jakarta sudah datang?”
“Sudah pak, itu dia keretanya.” Sambil melihat secarik tiket yang diperlihatkan lelaki itu.

Laki-laki itu pun bergegas masuk ke gerbong kereta yang ditunjukkan petugas tersebut. Sampai di dalam, dia celingukan mencari nomor bangkunya. Di belakang terlihat bangku yang kosong, dia pun berjalan menuju bangku tersebut.

“Maaf Mas, saya baru pertama kali naik kereta, saya mau tanya apa benar bangku ini nomor 1B?”
“Iya mas, Masnya nomor 1B ya? Silahkan duduk Mas.”
“Iya Mas, terima kasih ya, permisi.”

Setelah menaruh tas yang dia bawa di bagasi atas, dia pun duduk dan kemudian terlihat mencoba mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan.

Laki-laki yang baru pertama naik kereta itu, Aku.

Ini adalah untuk pertama kalinya aku naik kereta api sendirian dengan jarak yang cukup jauh, Jogja-Jakarta. Dengan bermodal nekat hanya berupa keyakinan dan uang tabungan. Aku benar-benar menjadi orang yang berbeda saat ini.

Sambil melihat pemandangan yang gelap di luar sana, aku melamun.

“Ngapain sih kamu ke Jakarta? Kok repot amat jauh ke sana, mending di Jogja saja lebih nyaman to.”

Suara itu menggema di telingaku, seolah menguji niatku untuk berangkat ke Jakarta. Berharap agar aku sadar dan memutuskan keluar meloncat dari kereta dan berlari pulang ke rumah. Sebenarnya jauh di dalam sana, aku ingin tapi aku tidak bisa. Aku hanya diam, sambil terus melihat jendela kereta api.

Kereta berjalan begitu cepat, pemandangan gelap yang terlihat di jendela semakin samar dan semakin samar. Di dalam gelapnya pemandangan di luar, di kereta yang melaju, pelan-pelan bayangan hidup yang pernah aku alami menyeruak kembali. Tentang aku dan dia yang sedang melangkah menjadi kita.  Mengingatkan aku kenapa aku harus ke Jakarta hari ini juga.

*****


Senin, 04 Agustus 2014

Hello Tickles! Halo Inggris! (Review Tickles Cafe & Resto)


Mumpung kemarin libur panjang aku dan Lia memutuskan menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah tempat di  kota Yogyakarta, namanya Tickles Cafe & Resto, alamat tepatnya di Jalan Kenari no 4, Demangan, Sleman. Dulu, pertama aku datang ke tempat ini saat malam minggu bersama teman-teman, kesan pertama benar-benar menggoda. Makanya ketika Lia pulang ke Jogja, sesudah dari jalan-jalan kami memutuskan untuk mampir ke sana. Tickles merupakan cafe yang sebenarnya baru hadir beberapa bulan di Jogjakarta, grand openingnya sendiri baru pada bulan Februari 2014 lalu. Walaupun begitu, dengan umur yang masih muda Tickles mampu menyedot perhatian para penikmat kuliner yang hobi nongkrong untuk datang ke sana. Konsepnya berbeda dengan cafe kebanyakan yang sudah ada di Jogja, nuansa Inggris begitu kental saat kita berada di sana. Ruangannya terbagi antara smooking room dan no smooking room. Karena aku sendiri adalah perokok aktif, maka ketika datang ke Tickles aku selalu memilih masuk ke smooking room, sehingga foto-foto yang aku pajang di blog ini kebanyakan merupakan foto di smooking roomnya. Tapi jangan salah untuk ruangan di no smooking roomnya tidak kalah keren desainnya.







Menu di Tickles ada bermacam-macam, seperti Pizza, Pasta, Steak, dan lain-lain dengan kisaran harga yang pantas. Hal ini membuat penikmat kuliner yang datang dapat termanjakan lidahnya dengan menikmati hidangan yang ada. Aku dan Lia datang ke sana memesan Chicken Marryland Steak (35K) dan Chicken Cordon Bleu (35K) untuk makanannya, sedangkan untuk minumannya kami memesan Mango Tango (15K) dan Greend Islands (17K). Di dalam daftar menu  di tiap jenis makanan dan minumannya sendiri  ada penjelasan terdiri/terbuat dari apa makanan/minumannya, sehingga walaupun dengan nama-nama yang asing bagi orang Indonesia kita mempunyai gambaran bakal seperti apa makanannya. Berikut tampilannya,




Menu makanan dan minuman di Tickles Cafe & Resto


Greend Islands, minuman ini segar plus ada buah di dalamnya, recommended menurutku.

Mango Tango, di dalamnya ada mangga, tomat, dan lecinya. 

Chicken Cordon Bleu, dagingnya lembut dengan taburan saos di atasnya. Selain itu di dalamnya ada smooked beefnya, ini enak.

Chicken Marryland Steak, daging dengan sensasi crispy ini juga enak.

Kalau menurutku secara tema, dengan menu dan desain tempatnya, Tickles berhasil membawa kita serasa di Eropa, Inggris tepatnya. Jika kamu ingin pergi ke Inggris tapi belum kesampaian, Tickles bisa mengobati sedikit keinginan itu. Di sana kamu bisa nongkrong rame-rame bersama teman-teman atau mungkin berduaan sama pacar, karena tempatnya emang cozy dan mendukung sekali. Menurutku, kalau ingin rame-rame enaknya di smooking room sedangkan kalau mau berduaan enaknya di no smooking room. Atau kalau datang sendirian, daripada mati gaya, bisa berselancar ria karena tempat ini Free Wifi.
Dan kalau ke Tickles jangan lupa siapin kamera karena fasilitas di Tickles mendukung sekali buat berfoto selfie. Saranku datang saat akhir pekan, karena di sana ada live bandnya.  Oh ya, harga di atas belum termasuk  pajak 10% dan servis 5% lho. Walaupun begitu, tidak ada salahnya datang ke sana, karena menurutku tempat ini nyaman, menunya lumayan dan pelayanannya juga bagus.


Tickles Resto & Cafe
Jalan Kenari no 4, Demangan Baru, Yogyakarta
(0274) 587001

Selasa, 22 Juli 2014

Pemain Sepak Bola


PEMAIN SEPAK BOLA
Aditya Winantaka


Menit 90, memasuki masa injury time 2 menit.

Di dekatku ada satu dua orang bek lawan yang menghalangi lajuku. Dua-duanya bertubuh besar dan tegap. Tak hilang akal, aku pun meliuk-liuk menggiring bola berusaha melewati mereka. Usahaku berhasil, bek yang satu telah tertipu oleh gerakanku, bek yang satunya sepertinya sudah lelah karena ketika aku tantang adu sprint dia kalah tertinggal jauh di belakangku. Di depanku hanya tinggal seorang penjaga gawang, dia bersiap-siap menyambutku.

Aku merasa menit ini sangat menegangkan.

Aku bisa melihat sekilas di bangku cadangan, pelatih dan teman-temanku begitu tegang melihatku. Begitu juga di bangku penonton, penonton terdiam menatapku, suasananya senyap menunggu apa yang akan terjadi kemudian. Aku pun ancang-ancang menendang bola yang sedari tadi aku giring.

"GOOOOOOLL...!!!" 

Penonton di stadion bergemuruh. Sorak sorai pelatih dan teman-temanku menyambut ekspresi kegiranganku setelah mencetak gol. Semua berpesta.

Kecuali lawanku, mereka menangis.

Negaraku untuk pertama kalinya menjuarai Piala Dunia. Dan itu karena golku di menit akhir.

*****

Aku bukanlah aku yang dulu lagi, terutama sejak malam itu. Aku adalah pemain sepakbola ternama. Beberapa kali aku menyabet gelar pemain terbaik di dunia, mengungguli Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan aku. Jauh.

Sekarang, tidak ada yang menyenangkan selain hidupku. Ketampanan, tubuh atletis, kharisma dan cerita tentangku membuat semua orang memujaku. Wanita, uang, mobil, rumah,  dan fasilitas kemudahan lainnya yang aku miliki membuatku menjadi orang yang paling bahagia di muka bumi ini. Aku tenggelam dalam kesenangan ini. Ini semua membuat perutku makin buncit, karena begitu banyak makanan minuman yang aku lahap tanpa aku saring dan pilah-pilah.
Ini semua karena gol itu. Ini semua karena permainan bolaku. Aku mengagumi diriku sendiri. Sambil menutup mata, aku membayangkan masa-masa indah yang telah aku lalui.

*****

Setelahnya,
Aku berusaha membuka mata lagi, tapi tidak bisa, semua gelap dan benar-benar gelap. Badanku berasa kaku. Tangan dan kakiku tidak bisa digerakkan. Aku bingung. Aku takut. Semua anggota tubuhku berusaha aku gerakkan tapi tidak bisa. Aku ingin teriak meminta tolong tapi ada sesuatu yang menyumpal di mulutku sehingga membuatku tidak bisa bersuara. Aku pun tidak mendengar satu suarapun di dekatku, sunyi. Aku menangis tapi anehnya tidak ada berasa butiran air mata menetes yang keluar dari mataku. 
Kemudian aku tersadar bahwa aku pun tidak perlu bernafas untuk merasa hidup. 
Semuanya menjadi aneh sekarang.
Hidup di dalam kegelapan, sendiri, dingin dan sunyi.
Tidak ada bola, wanita, fans dan uang.
Semuanya membosankan.

Pada detik ini, aku sangat berharap bahwa hidupku yang menyenangkan itu kembali lagi dan menjadi kekal. 

Tapi secercah cahaya datang, dan berbicara,
"Kamu hanya manusia, hidupmu tidak kekal, nikmati saja apa yang telah kamu tuai selama ini."

Aku kaget. Aku sadar.  Aku pun menangis kembali, tanpa air mata.

*****






Jumat, 18 Juli 2014

Anak Kecil

ANAK KECIL
Aditya Winantaka




Pagi itu, jam 09.00.
"..kring..kring.."
Bel berbunyi keras tanda istirahat dimulai. Halaman yang tadinya sepi ini, berubah menjadi riuh. Dari 6 penjuru pintu kelas di sekolah itu, berhamburan keluar anak-anak kecil berseragam putih merah. Sontak keramaian pasar berpindah ke sini. 

"Ayo jajan di luar gerbang sekolah yuk"
"Enggak ah, aku tadi sudah makan."
"Halah kita jajan es krim saja ya yang enggak mengenyangkan. Yayaya?"
"Mhmmm...Gimana ya. Iya deh yuk."

Kedua anak itu kemudian berlari mendekati abang penjual es krim. Si gemuk membeli es krim rasa vanilla, sedangkan si kurus membeli es krim rasa cokelat. Mereka makan es itu dengan lahapnya. Buliran es yang mencair menghiasi bibir mereka, tak sengaja beberapa menetes mewarnai baju putih mereka. Tapi mereka tidak peduli dan tetap lahap memakan es itu.

*****

"Oper bolanya ke sini. Aku kosong."
"Oke terima operanku ya."

Si hitam mengoper bola lambung ke arah si putih. Si putih menerima operan bola itu dengan dadanya. 
"Dug."
Dan terlihatlah bentuk noda bola menghiasi seragam putih si putih. Setelah menerima operan tersebut, dengan sekali kontrol anak itu segera menendangnya ke arah gawang.

"Goooooool...!!!!"
Anak-anak itu, si hitam dan si putih bersama kawan-kawannya berpelukan merayakan gol tersebut.

*****

"Aaaaa kamu kok nakal sih."
Anak kecil cewek mengejar seorang anak cowok dengan muka kemerahan, entah merah karena menahan marah atau tangis. Yang dikejar berlari dengan meliuk-meliuk menghindari tangkapan si pengejar sambil tertawa kegirangan. Mereka berlari menyusuri lorong dan kemudian berpindah ke halaman, melewati tengah-tengah anak-anak yang sedang bermain bola. Anak cewek itu tidak kenal lelah mengejar anak cowok tersebut. Mereka berlari dan terus berlari, sampai hampir saja mereka menabrak dua orang anak kecil kurus dan gendut yang sedang makan es krim dengan lahapnya.

*****

Aku duduk di bangku dekat gerbang sekolah sambil tersenyum melihat tingkah anak-anak SD itu. Mereka masih murni dan polos.

"Bermainlah, sebelum kamu beranjak ke dunia yang lain." batinku.

Bel masuk berbunyi, anak-anak pun masuk kelas kembali. Halaman sekolah yang tadinya ramai berubah menjadi sepi. Hening.
Aku pun beranjak dari tempatku duduk meninggalkan sekolahku dulu 13 tahun lalu, untuk kembali mengais rejeki agar bisa makan hari ini.

Sayup-sayup terdengar sebuah lagu.

"..Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada.."

Senin, 14 Juli 2014

Happy 5th Anniver5ary Lia : Rasa Ini [video]



"Happy 5th Anniver5ary Aulya Dwi Wulandari.....!!!"



Hallo Lia, gak kerasa ya ini sudah berapa tahun aja kita bareng berdua. Jalan berdua, galau nyari makan berdua, ngupil berdua dan semuanya berdua. Tapi tahun ini berbeda, di tahun kelima kita bersama, jarak kita jauhan kamu di Jakarta aku di Jogja. Tapi gak apa apa, jarak raga boleh jauhan tapi hati tetap dekat.hehehe.

Noh liat itu video perdana ala stopmotion yang aseli aku bikin buat kamu. Kalau rada aneh, tinggal tutup mata ya.hehe  Enjoy cup :) 




Watch this video, special for you..




Jarak yang kita alami sekarang ini bukanlah penghalang ataupun kendala, hanya sebagian cara misterius Allah untuk semakin menguatkan kita, aku percaya...sabar ya :) 




Senin, 23 Juni 2014

Cara Ampuh Menghadapi Ketakutan




Kebanyakan manusia cenderung memiliki sifat takut dan tidak berani mencoba hal yang baru. Hal seperti itu wajar, karena bagi sebagian orang tidak mau mengambil resiko bagi dirinya. Mereka cenderung melakukan hal yang sudah pasti karena tidak mau kalah dengan POM Bensin yang berslogan Pasti Pas. Tapi bagaimana ketika suatu saat dihadapkan pada sebuah situasi dimana kita harus menghadapi sesuatu yang baru dan tidak jelas apakah baik buat kita atau tidak? 



Saat itu gue masih bersekolah di SD Sleman 1. Saat SD, jarak rumah dan tempat gue sekolah sangat dekat. Cukup dengan berjalan kaki beberapa menit, sudah sampai ke sekolah. Sekolah yang berdekatan dengan rumah itu membawa banyak keuntungan, selain tidak membutuhkan waktu yang lama untuk ke sekolah, kita juga bisa menghemat uang. Mengapa? Karena ketika anak-anak lain saat istirahat pada berbondong-bondong jajan dan makan, gue memilih pulang untuk makan. Sehingga uang saku gue waktu itu utuh. Selain itu, gue tipe orang yang enggak bisa boker dan pipis di sembarang tempat walaupun itu di WC umum. Ada perasaan kurang nyaman ketika melakukan hal itu di tempat lain selain WC yang biasa digunakan di rumah. Maka karena rumah yang dekat dengan sekolah, ketika kebelet gue memilih pulang ke rumah untuk buang hajat di WC rumah daripada harus bersemedi di WC sekolah.



Beberapa hal tadi sudah membuat gue nyaman, tapi ketika lulus dari SD, gue dihadapkan pada situasi dimana gue harus jauh-jauhan dari rumah. Karena setelah lulus SD, gue melanjutkan sekolah di SMP N 1 Sleman yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Untuk berangkat dan pulang sekolah, gue enggak bisa jalan kaki lagi. Dan yang pasti gue harus belajar menahan boker dan pipis selama mungkin karena gue enggak mungkin bisa nyaman boker di WC sekolah maka moment itu harus gue tahan sampai saat sampai di rumah.



Untuk berangkat dan pulang sekolah, gue harus naik angkot. Bisa saja gue minta anter jemput Bapak tapi karena Bapak sibuk maka gue diminta apa-apa sendiri. Sebutan untuk angkot yang gue naiki adalah Joktem. Artinya yaitu Jogja-Tempel, singkatan nama jurusan angkot tersebut. Saat pertama kali berangkat sekolah naik angkot gue enggak bisa tidur malamnya. Gue bayangin macem-macem hal menakutkan yang bisa terjadi saat naik angkot.


Pertama, naik angkot itu ngeri kalau dompet lo kecopetan. Mau bayar pakai apa kalau uang semuanya lenyap bersama dompet itu? bisa-bisa gue ditendang saat angkot itu berjalan dengan kecepatan tinggi. Ngeeeeeeeeeng gubrak. Mati.



Kedua, naik angkot itu ngeri kalau lo ketiduran. Karena saat pagi hari berangkat sekolah adalah waktu dimana semua orang masih ngantuk-ngantuknya. Lo tertidur, tiba-tiba terbangun, kemudian tersadar sekolahnya sudah terlewat, maka lo teriak,”Bang, kiriii…” Abangnya menjawab, “@$#%#..” dengan bahasa asing yang lo enggak ngerti artinya. Setelah lihat map di smartphone ternyata lo udah sampai Uganda.



Ketiga, naik angkot itu ngeri ketika lo sebangku dengan om-om pedofil. Bayangin, lo lagi duduk dengan manis-manisnya ngeliat pemandangan dari kaca jendela Joktem. Lo bernyanyi kecil menyambut pagi yang cerah memakai pakaian seragam putih biru khas SMP-mu, dengan celana pendeknya yang ketat kayak hot pant. Sebelah lo ada om-om yang merhatiin lo terus. lo ge er, kemudian terbuai dan tiba-tiba duaaaak! kepala lo dipukul dari belakang. Lo pingsan, dan ketika tersadar celana lo sudah raib entah kemana. Ngeriiiii,…



Keempat, naik angkot itu ngeri ketika lo se-angkot dengan preman. Bayangin ketika lo nyetop angkot dan masuk dengan tegasnya. Ketika menjejakkan kaki pertama di angkot itu, puluhan pasang mata bengis menatap setiap gerak gerik lo.



Gue mikir hal-hal tersebut sampai gue tertidur. Keesokan harinya, setelah semuanya siap dengan diselingi wejangan Mamah untuk hati-hati dan ngingetin jangan sampai ada yang tertinggal, gue pun berangkat ke pangkalan dengan gemetaran. Setelah sampai ke pangkalan, tidak berapa lama angkot Joktem yang gue tunggu datang. Melihat wujudnya dari luar, gue semakin yakin tentang bayangan gue tadi malam. Gue lambaikan tangan tapi kemudian gue lari karena takut, tapi angkot itu malah ngejar. Gue lari, dia ikut lari. Akhirnya gue nyerah dan pasrah. Saat itu bayangan gue di dalam angkot sudah dipenuhi preman, copet, om pedofil dan sejenisnya. Kemudian gue ngelongok ke dalam untuk mencari tahu seberapa banyak mereka, tapi ternyata di dalam hanya dipenuhi anak-anak sekolahan semua. Gue ngeliat banyak cewek berseragam putih biru kayak gue. Gue ngeliat lama cewek-cewek itu dari ujung sepatu sampai rambutnya, enggak kerasa air liur gue menetes deras. Tak berpikir lama, gue pun buru-buru masuk angkot itu, menikmati desak-desakan dengan cewek-cewek cantik tersebut.



Saat gue merem melek menikmatinya, tiba-tiba angkot berhenti, ternyata angkot sudah sampai ke tujuan sekolah gue. Gue pun turun dari angkot dengan kecewa, kenapa secepat itu. Akhirnya gue sampai di sekolah baru, SMP N 1 Sleman. Gue lulus naik angkot untuk pertama kalinya dan gue bersyukur bisa menghadapi ketakutan gue.



Ternyata naik angkot tidak sengeri yang dibayangkan. Tinggal nyetop, naik, duduk, bayar, turun. Gue belajar satu hal, bahwa jangan sampai ketakutan menghalangi jalan lo. Apa yang belum kita hadapi emang menakutkan kalau dibayangkan, tapi belum tentu hal yang menakutkan itu merugikan kita. Untuk beberapa hal, kita harus berani mengambil resiko. Apakah nantinya itu akan merugikan atau menguntungkan kita, ketika kita sudah meyakinkan diri, maka hadapilah. Karena tidak ada cara paling ampuh melawan ketakutan selain menghadapi ketakutan itu sendiri.